Wednesday, July 23, 2008

Mediokrasi Menghambat Prestasi Cabang Basket

Cabang olahraga bola basket Indonesia pernah berjaya di era 70-an. Namun hingga saat ini belum ada tanda akan bangkit lagi. Sementara dinamika kehidupan olahraga berkembang kian kompleks. Olahraga dijadikan Entertainment (hiburan) telah menjadi kultur zaman sekarang. Tindakan itu dapat menafikan prestasi jika tidak dikontrol oleh sistem yang berbasis pemahaman ilmu.


Sebagai hiburan, olahraga memang dapat menghasilkan dana secara cepat, imbalannya mengeksploitasi. Perubahan mentalitas yang diakibatkannya berdampak merugikan pembinaan. Godaan jalan pintas membuat ruang pengembangan prestasi berkurang. Hiburan yang dianggap ingkar prestasi ini membuat hampir semua pelatih kampus (college coach) di AS tak sepaham dengan pelatih (coach) di NBA (liga basket profesional AS).

Negara lain yang memiliki masalah sama adalah Filipina. Terfokus pada olahraga menghibur, malah basket di sana menimbulkan masalah internal. Kepelatihan yang mengunggulkan permainan menghibur, entah kapan dapat mengangkat Filipina ke tingkat yang sama seperti Korea dan Jepang. Jika ukurannya basket kita (Indonesia), rasanya jelas belum saatnya diindustrikan sebelum pembinaan di bawahnya dibenahi. Namun, pembinaan membutuhkan manajemen yang baik. Bila membereskan kasus saja tidak sanggup, bagaimana membina?

Kasus wasit Budi Marfan adalah contohnya.Kasus yang berkaitan erat dengan kebuntuan prestasi itu berawal dari pernyataan tiba-tiba koordinator wasit yang mempermalukan wasit Budi Marfan dipertemuan wasit tanggal 17 September 2006 Riau untuk menghadapi pertadingan final IBL (Indonesian Basketball League ) 2006 yang lalu bahwa wasit Budi tidak disenangi klub IBL, maka diputuskan tidak diberi tugas. Namun persoalan yang merugikan nama baik wasit Budi ini berlanjut karena tidak menjelaskan klub yang mana, maupun sebab-sebabnya.

Setelah berusaha wasit Budi berhasil menemukan pelatih sebuah klub IBL yang mengaku telah menyatakan kepada koordinator wasit tidak suka Budi memimpin pertandingannya dengan alasan, keputusan Budi sering merugikan pihaknya, wasit Budi sangat kecewa dan merasa percuma karier wasit ini kerena harus menerima kenyataan bahwa yang dikhawatirkan selama ini tak disangka dapat benar-benar terjadi semudah itu dibelakangnya.

Pasalnya, bila ada klub peserta dapat semudah itu menolak wasit bertugas, sama dengan memberi kesempatan buat mereka untuk "memesan" wasit sesuai keinginannya. Konotasinya, menimbulkan keberpihakan wasit di pertandingan. Budi sering dipuji sebagai wait terbaik, dan kerap dipercaya menangani tough games ketika tiada satupun yang sanggup jadi wait kepala. Bahkan dia jadi teladan untuk ditiru, sesungguhnya tak ada pengurus yang mengerti dimana kelebihannya. Bagaimana cara menyimpulkan peringkat Budi kalah dari wasit lain.

Uji kemampuan wasit harus melalui evaluasi. Tetapi, mengevaluasi wasit harus berdasarkan Diktum klinik dan interaktif. Perwasitan yang vital ini positif mendukung dalam membangun prestasi, dapat menjadi negatif bila tidak paham menerapkannya, apalagi disalahgunakan. Kasus ini mengisyaratkan bahwa manajemen gaya lama sudah tidak sesuai untuk ukuran masa kini. Jika membahas masalah wasit saja tidak pernah dapat menyentuh pokok persoalan, bagaimana mengevaluasi pelatih? Peraturan Pendidikan yang dibuat dapat dipastikan tidak beraspek kepelatihan.

Komitmen

Tujuan Evaluasi wasit bukan hanya soal wasit meski menjadi objeknya. Minimal menjaga komitmen yang mengikat wasit, pelatih dan koordinator wasit. Permainan buruk (Bad play) akibat dari bad officiating yang terus dibiarkan, malah menanamkan persepsi keliru pada pelatih, pemain hingga penonton. Pelatih mengajarkan teknik bermain yang menyalahi peraturan. Menganggap latihan beban paling penting. Dikira kekuatan dan bobot lebih penting dari pada kecepatan dan skill. Bagaimana basket ini punya masa depan bila kepelatihan seperti itu yang berkembang?

Meniru gaya NBA yang melarang pelatih, atau pemain berekspresi di pertandingan selevel IBL adalah ngawur. Sungguh ngawur menganjurkan aturan pelatih dilarang protes di pertandingan yang dikira lantas dapat menghindar dari resiko kemelut. Apakah memang mau menyaksikan pelatih-pelatih ini tampil bisu tak berdaya di panggung Internasional ketika timnya dirugikan?


Sumber : Herman Kintono Pengamat Olahraga Bola Basket nasional

1 comment:

Ocky Tamtelahitu said...

Kordinator wasit kok gitu yah? Parah! Btw: Om Herman ada di Riau saat 2006 itu ya? Kok bisa tahu kejadiannya?

Maju Basket Indonesia!